Hari
ulang tahun kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 2012) jatuh pada hari Jum’at di
bulan Ramadhan, persis seperti 67 tahun silam (17 Agustus 1945), saat Indonesia
ini diproklamirkan sebagai negara berdaulat, terjadi juga pada hari Jum’at di
bulan Ramadhan.
Tema HUT Kemerdekaan RI ke-67 :
Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Kita Bekerja Keras untuk Kemajuan Bersama, Kita Tingkatkan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan untuk Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Kita Bekerja Keras untuk Kemajuan Bersama, Kita Tingkatkan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan untuk Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kata kemerdekaan
mengingatkanku akan sebuah syair puisi berikut :
ANAKKU MENULIS MERDEKA ATAU MATI
Oleh :
Wahyu Prasetya
Dengan cat semprot anakku menulis di dinding-dinding rumahkalimat yang ia pilih dari buku tulis sejarah sekolah dasarnya
warna merah yang melukiskan masa lampau pekikan
ada luka parah, ada khianat, ada timbunan tentara, petani…
peperangan akan selalu direncanakan dari pikiran sebuah rumah
maka ia mengecatnya,
“merdeka atau mati”
lalu teman-temannya pun menambahkan beberapa kata-kata,
“viva iwan fals!”
dari sebuah dinding rumah, sejuta senjata dan calon korban dicatat
bahkan ada pula yang berani menyemprotnya dengan cat merah, jari-jari
anak-anakku
apakah beda kemerdekaan ini dengan ketulusan tentang mati
apalah arti letusan di benua dengan 350 tahun yang menggilas kita
Indonesia adalah sebuah peta yang pernah diperdaya oleh ranjau intrik,
bom dan kasak kusuk,
“merdeka atau mati”
Lalu aku pun menyisipkan kata-kata juga
“hidup ibu hidup bapak hidup dada hidup dedy”
malampun menyisakan bauan tinner dan huruf melotot
biarlah
Kemerdekaan yang kami syukuri dalam rumah sederhana ini
hanya huruf, kalimat dan bahasa cat semprot
dan jari jari anak anakku yang mengutip ingatan buku tulis sejarahnya
esok ia akan membacanya keras-keras, hallo indonesia?
hallo Kemerdekaan siapa?
malang, 1.5.1995
Puisi tersebut menginspirasiku untuk menuliskan
sebuah realita yang terjadi di hari kemerdakaan yang ku beri judul “Realita Perjuangan Anak Bangsa Setelah
Merdeka”
Pagi ini Kemerdekaan
Indonesia telah melebihi dari setengah abad, sorak sorai menggema di mana –
mana, hentakan kaki bergemuruh menuju sebuah hamparan lapangan hijau yang
letaknya tidak jauh dari rumahku. Rombongan seragam sekolah, Pejabat tinggi, Seluruh
aparatur Negara sibuk lalu lalang melewati jalan – jalan raya untuk berkumpul
dan mengambil posisi dalam Upacara perayaan Kemerdakaaan RI.
Terpupuk
semangat di hatiku, mengingat akan jerih payah para orang – orang terdahuluku,
hari ini untuk pertama kalinya aku tidak ikut berperan serta dalam upacara HUT
Kemerdekaan RI, namun hal tersebut tak layak untuk membuatku kecewa sehingga ku
ambil cara lain dengan selalu mengikuti perkembangannya melalui layar kaca
Televis.
Hari ini
ada salah satu laporan berita dari stasion TV swasta yang menayangkan sebuah
potret kehidupan negeri ini, senyap..!! Ironis !! di saat hiruk pikuk
Kemerdekaan 67 tahun negeri ini, saudara – saudaraku di daerah yang berbeda di
sebelah sana belum mampu merasakannya, padahal mereka juga bagian dari
Indonesia.
Sangat miris
meliat fakta yang sebenanya, sebagai contohnya saja Pendidikan di Negara ini
masih sangat jauh dari memadai, seperti siaran berita yang saya tonton pagi
ini, menggambarkan potret pendidikan di sebuah Dusun terpencil, daerah Riau. Mereka
memang anak dusun, mereka memang tinggal di hutan, mereka juga berhak
mendapatkan pendidikan, sekolah dasar yang terletak sangat jauh bukan menjadi
penghalang demi mengecap sebuah pendidikan, meskipun harus menyebrang sungai
yang deras, menapak jalan terjal, berlari di derasnya hujan, dengan bangganya
mereka terus berangkat sekolah dengan memakai seragam merah,- putih dengan
senyum dan semangat menggebu – gebu.
Sekolah mereka
hanyalah satu ruangan kecil yang di penuhi seluruh murid dari kelas 1 s/d kelas
IV SD, sekolah mereka hanya berjalan dalam
satu bulan sekali, hari itu seharusnya mereka sudah masuk pada jam 7
pagi, tapi waktu sudah menunjukkan jam 9 pagi, guru yang mereka tunggu – tunggu
tidak kunjung datang, tiba- tiba si penjaga sekolah datang untuk mengabarkan
bahwa guru mereka tidak dapat berhadir dan hal ini sudah terjadi selama 4 bulan,
raut wajah anak bangsa ini seketika berubah dari senyum yang merekah menjadi
kesedihan yang bercampur kekecewaan, untungnya si reporter tergugah dan
tertantang hatinya untuk mengajar para penerus bangsa ini.
Di saat
pembelajaran berlangsung, sang reporter mencoba menanyakan kepada mereka
tentang siapa sosok gambar pria gagah, memakai jas hitam yang berdiri dengan
tegapnya dekat bendera merah putih, yang terpampang selama 8 tahun di atas
papan tulis sebelah kanan tersebut. Mereka semua terdiam dan hanya ada satu
anak yang berani menjawab dan berkata bahwa gambar itu adalah sosok gambar
bupati mereka. Bayangkan..! gambar tersebut telah mereka lihat selama 8 tahun
ini, tapi mereka masih tidak mampu mengenali sosok bapak Negara Indonesia,
sehingga dapat di simpulkan bahwa mereka masih buta akan huruf dan angka karena
keterbatasan informasi dan fasilitas. Sekali lagi sang reporter menanyakan “Apa
nama negara kita?” serempak mereka menjawab “Negara Hutan..” sungguh sedih
melihat potret penerus bangsa ini.
Di mulai
hari ini, aku berjanji pada diriku sendiri, sebagai seorang mahasiswi Fakultas
Ilmu Pendidikan jurusan Pendidikan Guru SD, sebagai calon guru anak
bangsa, aku harus mampu memberikan
perubahan pada anak negeri ini, penerus perjuangan bangsa ini, dengan cara
melalui pendidikan. Semoga Allah SWT selalu meridhoi segala usaha yang telah di
lakukan para Guru di negeri ini. Amin
Saudaraku
memang berada di hutan namun Negara mereka bukan Negara hutan, saudaraku memang
berada di daerah yang gersang jauh dari kemajuan Ibu Kota namun daerah mereka
bukan daerah hitam dan terbelakang. Indonesia itu kami, Kemerdekaan itu milik
Indonesia, walau kami terdiri dari
beragam warna, tapi kami tetap bersatu dalam warna sang Saka Benderah Merah
Putih.
MERDEKA INDONESIA
Puisi ini dikutib dari buku mana ya?
BalasHapus